Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

“Dosa” Jariah

grafis.aw

Tulisan ini memiliki latar belakang oleh perilaku mahasiswa "yang tidak tuntas" menyebutkan sumber rujukan dalam format catatan kali (footnote) pada karya tulis ilmiah yang sedang dibuat.

Ketidak tuntasan itu, sebagai misal sudah ada nama penulis, judul buku, lalu kota dan nama penerbit; hanya saja lupa tidak mencantumkan halamannya. Ini kesalahan ringan, tetapi tetap salah. 

Kemudian, ada pula yang menuliskan catatan kaki; penulis dan judul buku ada, tetapi kota dan nama penerbit serta halaman tidak ada. Hanya ada tahunnya saja. Ini kategori kesalahan sedang. 

Adapun kesalahan kategori "berat", mahasiswa tidak menyebutkan sumber sama sekali, hingga tidak bisa membedakan sumber yang digunakan itu termasuk kategori buku atau jurnal.

Keprihatinan ini hakikatnya reflektif bagi saya. Artinya, ketika melihat karya tulis –skripsi, yang dibuat oleh mahasiswa tidak sebagaimana panduan; insting untuk menunjukkan mana yang salah hadir. 

Kala saya menyalahkan –berwujud coretan, ada landasan yang saya pakai dari buku pedoman akademik, atau yang langsung spesifik menyebut pedoman penulisan skripsi. Upaya screening ini agar tidak terjadi amaliah "dosa jariah". 

Apa maksudnya?

Bagini, kepada mahasiswa, saya sampaikan bila dalam melakukan sitasi (pengutipan sumber) baik buku hingga jurnal online, kelengkapan unsur "yang harus ada" itu kudu diperhatikan. 

Dasarnya apa? Tentu buku pedoman akademik. Atau dalam istilah lain buku pedoman penulisan skripsi sebagaimana gaya selingkung kampus.

Jika kemudian kelengkapan unsur sitasi diabaikan, artinya karya ilmiah yang dibuat tidak memenuhi standar keilmiahan yang telah ditetapkan oleh kampus. Wabilkhusus, program studi maupun fakultas. 

Mahasiswa harus paham secara moral, bila mencantumkan sumber rujukan dari teks yang dikutip ke dalam karya ilmiah yang dibuat adalah bagian dari kejujuran. Oleh karena mahasiswa masuk dalam kasta intelektual, kejujuran yang saya maksud adalah kejujuran intelektual.

Namun menjadi sebaliknya, bila mahasiswa kala menulis karya ilmiah kemudian mengabaikan kejelasan sumber sitasi, itu artinya seperti meng"aku" teks yang dibuat berasal dari dirinya. 

Padahal, hakikat teks itu didapatkan dari sumber primer dan sekunder yang bergentayangan di internet, maupun repositori perpustakaan.

Jika perilaku mahasiswa sebagaimana di atas, bagi saya itulah perilaku ketiadakjujuran yang terang-benderang. Bisa diartikan, intelektual yang tidak jujur akan menjadi pemandangan nyata dunia akademis bila dibiarkan.

Peran Dosen

Agar mahasiswa tidak menjadi intelektual yang abai dari perilaku jujur dalam penulisan karya ilmiah, tentu peran dosen pembimbing diperlukan. 

Pertama, keilmuan tata tulis yang dimiliki tidak sekadar disaving memenuhi ruang otak bagian luar (neokorteks). Hal itu bisa diinformasikan saat bimbingan penulisan skripsi.

Terlebih, dalam hal tupoksi, masih-masing dosen pembimbing telah memiliki tugas sendiri. Sebagai misal pembimbing kedua, mengarahkan perihal tata tulis karya ilmiah sebagaimana buku panduan yang dimiliki oleh kampus.

Kedua, peran aktif mahasiswa. Dalam hal ini, mahasiswa kudu "aktif" mencari referensi kepenulisan yang benar. Utamanya, sebelum menulis hukumnya wajib membaca buku pedomannya terlebih dahulu. 

Karenanya, ketika ada mahasiswa yang bimbingan, saya selalu memberi catatan tertulis. Ketika catatan sudah selesai saya buat, kemudian saya terangkan kepada mahasiswa maksud dari catatan yang saya oret-oretkan.

Mahasiswa juga saya uji, kala dalam menulis karya ilmiah, mengapa ada yang berbeda dalam penyajian catatan kaki. Ada yang menggunakan kata "hal, h., hlm", bahkan langsung menulis "halaman" yang dimaksud. 

Pertanyaan sederhana saya, apa alasan menggunakan kata sebagaimana saya maksud di atas? 

Mahasiswa kemudian menjawab, "berdasarkan buku pedoman penulisan skripsi". "Apa betul? Coba perlihatkan buku pedoman penulisan skripsi yang sudah didownload." Setelah dilihat dengan seksama, ternyata yang ditulis adalah yang salah. 

Berdasarkan cerita di atas, proaktif mahasiswa dalam menelusuri kebenaran penulisan catatan kaki pada karya ilmiah mutlak dilakukan. Tidak kemudian muncul jawaban sederhana "di buku pedoman penulisan skripsi tidak ada". 

Sehingga, kala saya menemukan mahasiswa yang mengemukakan jawaban demikian, saya balik memberi masukan lebih. 

Yakni, memberi alternatif cerdas bilamana di buku pedoman penulisan skripsi yang terbaru tidak mendapatan panduan yang dibutuhkan saat menulis footnote, saya minta mahasiswa untuk menelusuri pada buku pedoman penulisan skripsi tahun lalu. 

Mengapa saya menyarankan seperti itu? 

Ini dalam rangka menjawab bentuk penulisan footnote yang belum ada pada buku pedoman kepenulisan yang baru. Sehingga, model kepenulisan yang dilakukan mahasiswa menjadi bukan asal, tetapi berdasarkan dokumen –buku pedoman penulisan skripsi, meskipun lama.

Perihal ini, solutif; serta tetap bisa dijawab akurat secara metodologis. Bukan jawaban instan atas nama meniru kakak kelas, yang "kadang" juga masih luput dari koreksi selama bimbingan. 

Saya juga sampaikan kepada mahasiswa, bilamana dia mengutip dari kakak kelas, kemudian luput "koreksi" selama proses bimbingan, berarti hasil kutipannya menjadi salah. Kutipan salah kok dikutip lagi, tentu kesalahannya akan paralel (sambung-menyambung). 

Kini, mahasiswa mengutip kepada karya kakak kelas yang salah. Setelah jadi dan terarsip di perpustakaan akan dikutip lagi, lagi, dan lagi. Padahal, jelas yang dikutip salah. 

Maka, selanjutnya, kesalahan yang dilakukan berjamaah akan menjadi "dosa jariah" yang berkepanjangan.

Sekelumit pikiran nakal perihal "perbuatan salah" mahasiswa dalam menyelesaikan kepenulisan karya ilmiah inilah, yang kemudian saya pakai diksi "dosa" jariah intelektual kampus. 

Artinya, perbuatan "melimpahkan kesalahan" yang dilakukan mahasiswa kepada sesamanya, sehingga seniornya mendapat kiriman "perilaku salah" yang sambung-menyambung dari yuniornya.*

: Usman Roin
: Usman Roin (Dosen PAI Unugiri)

6 komentar untuk "“Dosa” Jariah"

  1. Ketidaktelitian dan abai dengan sikap profesionalitas terkadang memberikan efek dan implikasi di masa depan...pekerjaan atau profesi apapun itu akan terlihat seolah2 bagus, baik dan benar serta profesional namun ternyata instan dan tidak memiliki kualitas...maka jika masih sempat dibenahi saat ini...lakukanlah semoga menjadi orang2 yang bermanfaat dan berdedikasi tinggi dimasa depan...tidak hanya dimata manusia tapi juga dimata Tuhan...

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah .. setelah sidang munaqosah .. saya meresakan begitu pentingnyaa gaya penulisan sitasi yang benar itu .. dan pak usman selelalu menekankan. . "Tidak papa pahit didedap mas .. yang penting nanti kedepannya sudah tidak akan ada kelasalahan lagi, tinggal enaknya saja"..

    Terimakasih pak..

    BalasHapus
  3. Setelah membaca ini, kita menjadi tahu bahwa tidak boleh sekaligus haram menyepelekan hal itu karena dilihat dari dampak yang besar itu bisa dimulai dari hal" yang kecil, dalam konteks pengutipan hal ini justru harus lebih diperhatikan lagi,.


    Terimakasih pak, semoga bisa tambah bermanfaat 🙏

    BalasHapus
    Balasan
    1. terima kasih, pelajaran kecil semoga bermanfaat.

      Hapus