Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Malam Takbir ke Gramedia

grafis. aw

Malam takbir iduladha 1446 H, saya dan istri jalan-jalan ke kota. Niatnya memang ke toko buku Gramedia Bojonegoro, yang paginya barusan dilaunching, atau diluncurkan serta telah siap menerima pengunjung. 

Sesampainya di toko, parkiran masih penuh motor pengunjung. Ada juga bunga-bungan ucapan selamat yang berada di samping kanan-kiri pintu masuk, serta di pinggir jalan. 

Sebagai pencinta buku, saya senang masih ada toko buku yang hadir di Kota Ledre. Dalam benak saya, iklim membaca biar tumbuh seiring dengan hadirnya toko buku. Bahkan, tidak sekadar membaca saja yang jadi tumbuh subur, melainkan tumbuh subur pula penulis-penulis produktif dari Bojonegoro.

Kala memasuki toko, memang masih tercium “aroma-aroma” kebaruan interior. Saya pun mengamati setiap area display buku lengkap dengan spesifikasi informasi kategori yang disematkan maupun tertempel di rak. 

Mulai dari kategori social science, religion & spirituality, children's book, computing & technology, dictionary, food & beverages, school book, reference, comic, parenting & family, self-improvement, novel, dan masih banyak lagi.

Melihat buku yang ditampilkan, serasa ingin memborong semuanya. Tetapi, hal itu tidaklah mungkin. Butuh kekuatan besar –kantong tebal, untuk menebas semuanya agar menjadi koleksi pribadi.

Bagi saya, bisa membeli buku baru sebulan sekali itu sudah bagus. Apalagi, dalam sebulan sudah bisa menghatamkan satu buku yang dibeli, itu sudah ajib bin ajib. Lebih ajib lagi bila pembaca bisa –khatam, lebih dari satu buku yang dibeli, sungguh luar biasa, sa, sa, sa.

Fahruddin Faiz

Selama muter-muter di area toko buku Gramed –nama pendek (short name) dari Gramedia, akhirnya saya memutuskan membeli bukunya Kang Fahruddin Faiz berjudul “Menjadi Manusia Menjadi Hamba”.

Saya sematkan panggilan “Kang” biar saya kelihatan akrab. Meski beliau tidak kenal saya, biarlah saya yang mengenal beliau dengan membeli bukunya. Meski beliau tidak tahu foto saya, cukup saya yang melihat foto beliau melalui pigura melingkar di halaman 308 bukunya.

Buku beliau yang diterbitkan oleh Noura Books, di sampul judul (hal. 4) telah dicetak ulang ke 9 pada 2025 ini, sungguh keren. Penulis yang mengasuh kajian rutin “Ngaji Filsafat” setiap Rabu malam Kamis di Masjid Jendral Sudirman Yogyakarta itu tidak sekadar menggelar kajiannya.

Buku –setebal 309 halaman di atas, adalah hasil dari materi ngaji, yang kemudian dibukukan agar memiliki nilai manfaat lebih kepada sesama. Meminjam bahasa beliau (hal. 14) memiliki keleluasaan manfaat dan maslahat.

Keleluasaan manfaat dan maslahat yang saya tangkap, melalui buku tersebut saya –maupun pembaca, tidak berhenti untuk menggali khazanah keilmuan Allah Swt yang tidak terbatas. 

Dengan membaca buku tersebut, saya –dan pembaca, berusaha memberdayakan diri dengan melakukan upgrade keilmuan baru sedikit demi sedikit. Kemudian setahap demi setahap. Di manapun dan kapanpun.

Yang lebih penting pula menurut beliau –di hal. 14, saya dan pembaca menjadi sadar untuk tidak berhenti belajar dan selalu istikamah meniti jalan keilmuan dengan jalan membaca secara mandiri. Dan, melalui buku belilaulah medianya. 

Sekilas, Kang Faiz, seperti mengajak kepada saya –tidak terkecuali pembaca, untuk tidak takut belajar filsafat. Belajar perihal filsafat itu tidaklah ruwet bin sulit. Justru –pada hal. 7, beliau mengajak berpikir bijak kepada pembaca budiman sebagai pemaknaan dari philo-sophia; di tengah banyaknya manusia yang menghindari berperilaku bijak.

Yang jamak justru, manusia –dan monggo kalau mau disebut oknum, lebih sibuk memenuhi hasrat dan ambisinya untuk “menjajah” dunia dan memuaskan kesenangan sesaat. Karenanya, Kang Faiz, menyebut manusia sebagaimana di atas adalah berkategori benci kepada kebijaksanaan atau disebut miso-sophia.

Menutup tulisan saya yang bisa pembaca rampungkan dengan sekali kedip, artinya jangan berkedip sebelum tuntas membaca, saya kutipkan humor –di hal. 58, antara Nabi Muhammad Saw bersama sahabat Ali bin Abi Tholib kala sedang duduk bersama makan kacang.

Singkat cerita setiap Ali makan kacang, kulitnya diletakkan di depan Nabi. Lalu, dengan nada bercanda, Ali berkata, “Wah, saya tidak mengira ternyata Rasulullah suka makan kacang. Kacang sebanyak itu dimakan sendirian.” 

Ali berkata begitu karena kulit kacang di depan Nabi banyak sekali –termasuk kulit kacang kiriman dari Ali.

Rasulullah pun menjawab, “Iya, tapi saya masih mending, kulitnya saya tinggal. Saya lihat di depanmu bersih, kulitnya saja sampai tidak ada. Kamu makan juga, ya?”

Saat saya membaca cerita, saya sempat tertawa sendiri, sambil mengangan-angan seberapa menggunung kulit kacang –kiriman Ali, di depan Rasulullah!

Ternyata, Nabi dan sahabat sangat humoris. Kehidupan beliau tidak sekadar berisi dakwah dan perang saja. Melainkan ada juga saat-saat bergurau.*

: Usman Roin
: Usman Roin (Dosen PAI Unugiri)

Posting Komentar untuk "Malam Takbir ke Gramedia"