Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kecerdasan Emosional dan Bahaya Emosional

grafis.aw

Malam yang hening cocok sekali untuk membaca. Suasana petang, tenang, di mana orang terlelap dalam tidur "seakan" menyugesti diri larut dalam irama teks bacaan.

Cobalah pembaca rasakan, kala mengeja kata –dengan tidak sambil lalu, akan terhayati betul. Sehingga, makna yang dikandung oleh sebuah teks di dalam kalimat bisa kita pahami secara gamblang.

Saya teringat bila proses menemukan makna yang terkandung oleh bacaan, adalah bagian dari membangun kecerdasan emosional diri. Maksudnya bagaimana? Meminjam bahasa Fahruddin Faiz (2024:74), adalah proses mengelola emosi dengan rasionalitas.

Artinya, dalam pemaknaan yang saya sederhanakan, kala kita membaca teks, upaya meresapi maknanya memakai perangkat otak dalam –yang disebut limbic system; sembari melakukan penalaran secara rasionalitas menggunakan bagian otak luar –neokorteks

Penyeimbangan inilah yang disebut sebagai kecerdasan emosional. 

Sehingga, kala kita membaca teks sebuah kalimat hingga menghadirkan kesadaran diri, pada hakikatnya lahir dari upaya penyeimbangan pengolahan –dua struktur otak neokorteks dan limbic system. 

Sehingga, melahirkan pemaknaan bijak dan lebih baik untuk wawasan diri dalam berperilaku.

Bahaya Emosional

Perihal bahaya mengapa kita diminta tidak emosional, saya cuplikkan cerita menarik. Cerita ini bisa pembaca temukan dalam buku Jatuh Cinta kepada-Nya: Memaknai Dimensi Spiritual Cinta dan Patah Hati (67-68), karya Fahruddin Faiz.

Dikisahkan –tepatnya di Cina, terdapat seorang penakluk besar bernama Jenghis Khan. Kemana-mana, ia selalu ditemani oleh seekor burung elang peliharaannya. 

Suatu ketika, ketika Jenghis Khan sedang dalam perjalanan panjang, dia merasakan haus yang luar biasa. Setelah mencari sumber air, dia menemukan sebuah sungai dengan air yang jernih.

Jenghis Khan segera mengambil wadahnya untuk menimba air dari sungai itu. Kala dia hendak meminum airnya, sang elang kesayangan tiba-tiba menyambar wadah tersebut hingga tumpahlah airnya.

Kemarahan Jenghis Khan pun mulai muncul. "Apa-apaan ini?" pikirnya. Elang yang selama ini dia latih dengan baik, tiba-tiba bertingkah seperti itu.

Namun, oleh karena masih sayang pada elangnya dia menahan diri dan mencoba lagi.

Untuk yang kedua, nahasnya, elang kesayangannya kembali menyambar wadah minum, hingga airnya tumpah lagi. Kali ini Jenghis Khan semakin jengkel. Dia berpikir, elangnya telah memiliki tingkah laku aneh.

Setelah tiga kali elangnya menyambar wadah minum hingga tumpah airnya, kemarahan Jenghis Khan memuncak. Dia menganggap apa yang dilakukan elang sebagai penghinaan dan pelecehan terhadap dirinya.

Maka, untuk yang keempat kalinya, Jenghis Khan bersiap-siap, sembari menggenggam pedangnya. Begitu elang itu kembali menyambar wadah minum, dengan sekali tebas, Jenghis Khan akhirnya menewaskan elang kesayangannya.

Ketika wadah minum yang disambar elang terjatuh di air sungai ingin diambil, Jenghis Khan melihat sesuatu yang mengejutkan; di dalam air itu ternyata terdapat bangkai ular beracun.

Jenghis Khas terkejut bukan kepalang dan baru tersadar, bila sambaran demi sambaran wadah minum selama empat kali, ternyata sang elang berusaha menyelamatkan dirinya dari bahaya racun. Bukan berusaha mengganggunya. 

Setelah sang elang kesayangan tewas, Jenghis Khan baru meratapi kesalahan emosional yang telah diperbuat.

Cerita di atas, memberi edukasi kepada kita, bahwa emosi yang tidak terkontrol dapat membuat kita salah dalam mengambil keputusan. 

Contohnya Jenghis Khan, yang terburu-buru "dalam marahnya" hingga emosi negatif mengaburkan dan menutup pandangannya. Sehingga tidak bisa melihat kebenaran hakiki (sebenarnya) yang justru menyelamatkan dirinya.

: Usman Roin
: Usman Roin (Dosen PAI Unugiri)

Posting Komentar untuk "Kecerdasan Emosional dan Bahaya Emosional"